Perenialisme
Perenialisme
merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh.
Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mohammad
Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus
lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah
teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali
atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan
ideal. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan
dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan
jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai nilai atau prinsip
prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman
kuno dan abad pertengahan. Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa
dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada
satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta
kestabilan dalam perilaku pendidik. Aliran ini lebih menekankan pada keabadian,
keidealan, kebenaran dan keindahan dari warisan budaya dan dampak sosial
tertentu. Selain itu, pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang
memperhatikan kegiatan sehari hari. Pendidikan yang menganut faham ini
menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada
tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
Essensialisme
Esensialisme
adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance
dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaan yang utama
ialah dalam hal memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh
fleksibilitas, terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang jelas dan tahan lama dalam memberikan kestabilan, mempunyai
tata aturan yang jelas. Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum
hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman
Harrel Horne, mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas
fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang
ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang
serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak
terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat
terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain,
kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian,
yaitu: Universum Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala
manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam,
asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu
pengetahuan alam kodrat yang diperluas. Sivilisasi:
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan
sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar
kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.
Kebudayaan: Kebudayaan mempakan
karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan,
agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan. Kepribadian: Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam
arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam
kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional
dan intelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis,
sesuai dengan kemanusiaan ideal. Robert Ulich, berpendapat bahwa meskipun pada
hakikatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas
pribadi anak, fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai
agama dan alam semesta. Untuk itu perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan
dan kepastian. Butler,mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru
haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedangkan
Demihkevich, menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi.
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan
teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang
paling kompleks. Susunan ini dapat diibaratkan sebagai susunan dari alam, yang
sederhana merupakan dasar dari susunannya yang paling kompleks. Jadi bila
kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.
Aliran ini sama dengan perennialisme, yaitu lebih berorientasi pada masa lalu
dan lebih menekankan pada pemahaman dunia melalui ilmu pasti dan ilmu sosial,
serta mengindahkan ilmu filsafat dan agama.
Bahan pokok kurikulum adalah sebuah rencana esensialis tentang
organisasi kurikulum dan teknik-teknik pemberian pelajaran, dengan tes sebagai
metodenya. Karya ilmiah, yakni kemampuan mendaur ulang apa yang telah
dipelajari, merupakan nilai yang tinggi, dan pendidikan diawasi sebagai
persiapan mencapai maksud pendidikan, seperti perguruan tinggi, lapangan kerja
dan kehidupan. Progresivisme Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan
yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang
benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus
terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa
tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley,
Lawrence B. Thomas dan Frederick C. Neff.
Aliran ini telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan
pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar kebebasan kepada anak
didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir,
guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa
terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan
yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para
pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran.
Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Aliran ini memandang kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dikenal sepanjang
sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan
berubah. Maka pendidikan sebagai usaha manusia yang merupakan refleksi dari
kebudayaan itu haruslah sejiwa dengan kebudayaan itu. Maka pendidikan sebagai
alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat
menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat memberikan warna
dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga keluaran yang
dihasilkan (anak didik) adalah manusia manusia yang berkualitas unggul,
berkompetitif, insiatif, adaptif dan kreatif sanggup menjawab tantangan
zamannya. Selain itu, sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman
atau kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang telah diperoleh anak didik
selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode
pendidikan "Belajar Sambil Berbuat" (Learning by doing) dan pemecahan
masalah (Problem solving) dengan langkah langkah menghadapi problem, mengajukan
hipotesa. Dengan berpijak dari pandangan di atas maka sangat jelas bahwa
filsafat progresivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas
dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman
peradaban baru.
Rekontruktivisme
Kata
rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris ”rekonstruct” yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada
prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis
kebudayaan modern. Rekonstruktivisme
merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruksivisme,
peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang
perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstuktivisme lebih jauh
menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran
ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan
melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dan
proses. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran
perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran
tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan
sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Walaupun demikian, prinsip yang
dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang
dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang
berbeda dalam pemecahan masalah yang akan ditempuh untuk mengembalikan 12
kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara
ersendiri, yakni dengan kembali ke kebudayaan lama atau dikenal dengan
regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran
rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus
yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat
manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari
kesepakatan antar sesama manusia agar dapat mengatur tata kehidupan manusia
dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga
pendidikan dalam pandangan ekonstruksionisme perlu merombak tata/susunan lama
dan membangun tata/susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan
utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar